Kamis, 01 Januari 2009

Agresi Israel atas Palestina: Keprihatinan dunia di akhir 2008

Tahun 2008 diakhiri oleh keprihatinan dunia akibat agresi Israel atas Palestina. Israel dengan persenjataan canggihnya melakukan penyerbuan ke Palestina. Tidak pelak lagi korban berjatuhan dari kalangan sipil. Tindakan Israel melakukan agresi ini sontak menuai kecaman dari seluruh dunia. Namun seperti juga sekutu abadinya, Amerika Serikat waktu menyerbu Irak, Israel mengabaikan kecaman dari dunia atas tindakannya tersebut.

Israel beralasan penyerbuan ini akibat ulah Hamas yang secara rutin menembakkan roketnya ke wilayah Israel. Alasan ini tentunya bisa dipertanyakan lebih lanjut mengingat kecanggihan persenjataan dan sistem radar yang dimilliki oleh Israel. Jika alasan tersebut yang menjadi pembenar oleh Israel dalam menyerang Palestina, tentunya akan sangat mudah bagi Israel untuk mendeteksi dimana letak wilayah rudal tersebut ditembakkan, sehingga akan sangat mudah bagi Israel untuk melumpuhkan persenjataan Hamas yang kualitasnya jauh di bawah Israel. Bukannya menghancurkan fasilitas sipil dan perumahan rakyat sipil yang tidak berdosa. Namun Israel juga masih berkilah dengan memberikan alas an bahwa di lokasi pemukiman tersebutlah tempat para pemimpin Hamas tinggal dan tempat fasilitas militer Hamas dijalankan.

Alasan yang terdengar familiar kalau kita mencoba mengingat kembali alasan yang diberikan Amerika Serikat (AS) pada saat menyerbu Irak enam tahun silam. AS menyatakan dalam laporan intelejennya bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal yang membahayakan dunia. Sehingga keamanan AS terancam. Namun, seperti kita ketahui bersama klaim senjata pemusnah massal tersebut tidak pernah terbukti, dan sampai sekarang AS masih betah bercokol di Irak.
Kembali ke peristiwa agresi Israel tersebut. Israel menyatakan bahwa yang mereka perangi adalah otoritas pemerintahan Palestina yang saat ini dilakukan oleh kubu Hamas. Salah satu faksi politik besar di Palestina ini terpilih untuk memerintah di Palestina sejak Juni 2007. Sejak saat itu proses perundingan perdamaian yang telah dilakukan oleh pihak Palestina dan Israel seakan kembali ke titik awal. Israel yang tidak mau menerima kenyataan bahwa mulai saat itu Palestina diperintah oleh kubu garis keras Palestina, mulai memperkuat armada militernya untuk siap berkonflik dengan Palestina. Faksi Fatah yang cenderung moderat dan melakukan perjuangannya melalui meja diplomasi seakan tenggelam oleh kebijakan garis keras faksi Hamas.
Terpilihnya Hamas sebagai otoritas pemerintahan di Palestina juga tidak terlepas dari kondisi yang dialami oleh dunia muslim akibat sikap Barat yang selalu curiga dengan dunia islam. Militansi dan sikap menempuh jalan kekerasan makin timbul akibat ketidak adilan yang dilakukan oleh AS dan sekutunya terhadap pihak yang dituduh bertanggung jawab atas tindakan terorisme di seluruh dunia. Tawanan yang dituduh sebagai teroris tidak pernah mendapakan pengadilan yang terbuka. Bahkan tawanan di Guantanamo, selain tidak pernah diadili juga diperlakukan tidak layak. Bahkan banyak terungkap pelecehan HAM dan agama yang terjadi di penjara tersebut.

Rakyat Palestina seakan lebih percaya dengan kebijakan garis keras yang akan ditempuh oleh Hamas dalam memperjuangkan kemerdekaan mereka, dibandingkan dengan jalan diplomasi yang ditempuh oleh Fatah di dunia internasional. Hamas yang menjadi otoritas resmi sebagai pemerintahan di Palestina tetap melakukan kebijakan garis kerasnya. Namun Hamas seakan lupa dengan Israel yang memiliki persenjataan militer yang salah satu tercanggih saat ini, dan dukungan sekutunya AS di diplomasi dunia internasional yang siap melakukan veto atas keputusan apapun dari DK PBB yang merugikan Israel. Kebijakan Hamas ini seakan menjadi bumerang bagi rakyat Palestina yang tidak berdaya dengan perilaku elit politiknya yang tidak mau bersatu.

Namun sekali lagi, alasan penembakan roket yang dilakukan oleh Hamas tidak boleh dijadikan alasan pembenar untuk membunuh rakyat Palestina yang tidak berdosa. Pihak Hamas juga perlu diingatkan agar jangan sampai melakukan “kebijakan” yang pernah dilakukan oleh Hizbullah di Lebanon dengan menggunakan rakyat sipil sebagai tameng dan untuk menarik simpati dari dunia internasional.
Solidaritas internasional juga perlu digalang. Tidak hanya dari kalangan Negara yang mayoritas penduduknya muslim saja. Ini adalah tragedi kemanusiaan yang lintas batas. Setiap manusia yang memiliki hati nurani pasti akan tersentuh dengan kondisi yang dialami oleh rakyat Palestina. Tidak hanya dengan bantuan kemanusiaan berupa bahan makanan dan obat-obatan. Diplomasi dan resolusi konflik juga harus terus dibangun. Peran PBB melalui Dewan Keamanannya juga perlu ditingkatkan. Patut dipikirkan sanksi keras atas tindakan Israel, sehingga tidak ada negara lain lagi yang merasa berhak bertindak sewenang-wenang dengan rakyat sipil Negara lainnya.
Pemerintah Indonesia sebaiknya menggunakan kekuatan hubungan diplomatiknya dengan negara-negara Arab, agar memberikan bantuannya kepada rakyat Palestina. Juga agar Negara-negara Arab tersebut bisa bersikap tegas terhadap perilaku Israel, karena tindakan Israel ini juga memicu ketidak stabilan regional di kawasan tersebut. Sikap Presiden SBY yang langsung memberikan reaksi keras atas agresi Israel ini sudah tepat, mengingat RI tidak memiliki hubungan diplomatik resmi dengan Israel. Namun RI juga berkepentingan dengan peristiwa tersebut. Penduduk RI yang mayoritas muslim memiliki solidaritas persaudaraan muslim yang cukup kuat. Dikhawatirkan militansi dan kalangan muslim garis keras di RI akan menempuh tindakan kekerasan di wilayah Indonesia atas pihak-pihak Barat (baca: AS) di Indonesia akibat “dukungan” yang mereka berikan terhadap pihak Israel.