Jumat, 01 Januari 2010

In Memoriam: Gus Dur - Kehilangan di Penghujung tahun 2009

Pagi di awal tahun 2010. Baru beberapa jam meninggalkan tahun 2009 yang penuh warna dan dinamika. Ada yang berwarna “hitam” dan ada yang berwarna “putih”, tak jarang pula ada yang berwarna ”kelabu”. Namun yang jelas dalam diriku, penghujung tahun 2009 ini berwarna sangat “hitam”.

Ada rasa kehilangan yang amat sangat di akhir 2009 ini. Tepatnya pada tanggal 30 Desember 2009 malam. Rasa kehilangan akan seseorang yang sangat menginspirasi diriku dan mempengaruhi cara berpikir dan bertindak selama ini. Malam itu aku mendengar K.H. Abdurrahman Wahid yang akrab kita kenal dengan panggilan Gus Dur berpulang meninggalkan kita semua.

Sebenarnya beberapa hari sebelumnya, aku sudah mendengar beliau sedang menjalani perawatan di rumah sakit dikarenakan kelelahan dan menjalani pengobatan gigi. Sebagai seseorang penderita diabetes dan sudah menjalani terapi cuci darah 3 kali seminggu, tentunya kondisi tersebut tidak bisa dianggap enteng. Aku bisa memahami hal tersebut karena teringat dengan kondisi Papaku yang juga menderita penyakit yang sama dan harus menjalani cuci darah 2 kali seminggu sangat rentan terhadap kondisi yang menyebabkan dirinya kelelahan. Dan kabar menyedihkan itu akhirnya kita dengar juga.

Rasa kehilangan yang amat sangat membuat ingin menulis artikel ini, untuk mencoba mengenang kembali sosok beliau yang sangat menginspirasi hidupku. Pengaruh beliau tidak sedikit dalam membentuk jalan pikiranku serta sikap-sikapku dalam dalam menanggapi kondisi sosial yang terjadi disekelilingku. Pengaruh beliau dalam diriku masuk melalui tulisan-tulisannya dan buku-bukunya serta tindakan-tindakan dan pernyataan-pernyataan yang dikeluarkannya. Kisah hidupnya yang aku baca melalui buku biografi dan penuturan orang-orang terdekatnya juga ikut menginspirasi diriku. Seringkali aku mendengar banyak orang di sekelilingku yang mencemooh dirinya akibat sikapnya yang kontroversial dan pernyataannya yang mengejutkan. Seringkali pula aku merasa perlu untuk menahan diri untuk tidak mendebat persepsi orang-orang tersebut terhadap beliau. Aku sangat mengaguminya namun aku tidak mau mengkultuskan dirinya.

Persinggunganku dengan sosok Gus Dur tidak bisa dilepaskan dengan masa kecilku yang aku jalani di kota Gresik, Jawa Timur. Kota kecil dimana sebagian besar penduduknya adalah warga Nahdliyin, sebutan untuk pemeluk agama Islam dibawah naungan dan bimbingan organisasi kemasyarakatan yang bernama Nahdlatul Ulama (NU). Keluargaku adalah keluarga NU sejati. Bahkan aku dan adikku serta semua saudara-saudara sepupuku yang jumlahnya puluhan itu hampir semua pendidikan tingkat sekolah dasarnya (SD) dijalani di Madrasah Ibtidaiyah yang berlatar belakang NU yang tersebar di kota Gresik.

Aku sendiri pada waktu itu menjalani pendidikan dasar di Madrasah Ibtidaiyah Nahdlatul Ulama (MINU) Tratee Gresik. Salah satu sekolah berlatar belakang NU terbaik di kota Gresik. Waktu itu sekolahnya dipisah antara siswa putra dan siswa putri. Siswa putra masuk sekolah pagi hari dan siswa putri masuk sekolahnya siang hari setelah waktu dhuhur. Belakangan yayasan yang menaungi sekolah ini membentuk SD NU Tratee, yang tidak memisahkan siswa putra dan putrinya pada saat bersekolah. Namun MINU Tratee ini sendiri saat ini tetap eksis.

Pelajaran di sekolah yang aku jalani waktu itu sama dengan SD-SD yang lain pada umumnya. Namun ditambahkan mata pelajaran bermuatan keagamaan seperti Sejarah Islam, Fiqih, Bahasa Arab, Tajwid, Kajian Al-Quran dan Hadits, dan karena berlatar belakang NU inilah ada mata pelajaran yang namanya ke-NU-an, yang mempelajari mengenai Khittah NU, latar belakang berdirinya Ormas NU, tujuan berdirinya, garis besar perjuangan NU sampai organisasi-organisasi kemasyarakatan lain yang berafiliasi dengan NU. Mata pelajaran ke-NU-an inilah yang meng”indoktrinasi” diriku untuk menjadi NU sejati. Sejati disini bermakna bahwa membentuk metode berpikir dan sikap dalam memahami dan menjalankan agama Islam dalam aktivitas dan perbuatan sehari-hari secara jujur, moderat dan sangat menjunjung tinggi pluralisme dan menghargai kebebasan berpendapat dan kebebasan berpikir serta memberikan penghargaan terhadap orang lain tanpa melihat latar belakang ras, gender, dan agamanya.

Gus Dur sebagai cucu KH. Hasyim Asyari, pendiri NU sangat dicintai oleh pengikut NU. Bahkan tidak jarang ada warga NU yang mengkultuskan dirinya. Sosok Gus Dur sendiri pada saat saya SD, saya kenal sebagai ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Pada waktu itu Gus Dur saya kenal sebagai sosok yang sering memberikan pernyataan yang bertentangan dengan kebijakan penguasa Orde Baru. Akibatnya peran NU saat itu sebagai ormas terbesar, terpinggirkan dalam percaturan politik di Indonesia dan seringkalli hanya didekati oleh penguasa pada saat menjelang Pemilu saja. Namun pengaruh Gus Dur sebagai individu sendiri sangat besar. Sosoknya yang kontroversial sangat menarik banyak orang untuk membicarakannya. Tulisan dan pikirannya serta ucapannya menjadi ulasan banyak media pada waktu itu yang mencoba menyajikan alternatif yang berbeda dengan kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Orde Baru.

Perbedaan kecil namun dianggap kontroversial pada waktu itu adalah perbedaan mengenai penentuan hari raya Idul Fitri. Hal yang dianggap biasa setelah masa reformasi, namun yang saya ingat pada waktu itu perbedaan penentuan pendapat mengenai tanggal hari raya ini sempat dibawa ke ranah politik dan dianggap sebagai sikap menentang keputusan pemerintah (kondisi yang juga dicoba dipolitisasi juga sampai dengan saat ini). Kenapa kejadian ini saya ingat? Karena ada sikap dari Papa saya dan sebagian besar warga di Gresik yang kemudian mengikuti pendapat Gus Dur dalam penentuan hari raya Idul Fitri dan hal ini tentunya mempengaruhi saya dan keluarga saya dalam menyambut hari yang sangat saya nanti-nantikan tersebut. Ceritanya begini, hari itu hari-hari terakhir bulan ramadhan. Di penanggalan kalender jatuhnya hari Lebaran 2 hari lagi. Namun kami mendengar berita bahwa warga NU yang menjalankan rukyat di daerah Tanjung Kodok, Lamongan telah melihat hilal. Berita tersebut menyebar ke seantero kota Gresik. Pada malam itu Papa saya sedang bekerja shift 3 di Pabrik Semen Gresik. Tengah malam itu saya berada di Masjid Jami’ di depan alun-alun kota Gresik untuk menunggu fatwa ulama NU mengenai jatuhnya hari raya. Pagi dini hari tersebut datanglah surat faksimili yang ditanda tangani oleh Ketua PBNU waktu itu KH Abdurrahman Wahid dari kantor PBNU Jakarta yang menentukan jatuhnya hari raya Idul Fitri pada hari tersebut. Segera kabar itu menyebar ke seantero kota Gresik. Saya menelepon Papa ke Pabrik dan mengabarkan surat faksimili tersebut dan meminta pendapat Papa. Pertanyaan beliau sangat sederhana, “Siapa yang menanda tangani surat pemberitahuan tersebut?”. “Gus Dur”, jawab saya pendek. “Ya udah, kita ikut Gus Dur. Papa segera pulang”, jawab Papa lagi. Segera pada saat itu juga, kira-kira menjelang pukul 2 dini hari kami sekeluarga bersiap menyambut Lebaran di pagi harinya. Mama menyiapkan dan berkeliling memberikan zakat fitrah yang memang dalam tradisi keluarga saya memberikan zakat fitrah pada malam Lebaran kepada tetangga dan kerabat dekat yang membutuhkan. Pagi harinya saya menyaksikan hampir seluruh warga Gresik dan warga Nahdliyin di Jawa Timur merayakan Lebaran sesuai instruksi dari PBNU.

Sosok Gus Dur juga terasa sangat dekat waktu saya kuliah di UI Depok. Kali ini melalui putri ketiganya, Anita Hayatunnufus. Yang sering dipanggil Anit oleh kawan-kawan dekatnya. Sebetulnya kami tidak satu fakultas. Saya mengenal Anit melalui Grudo, teman satu SMA saya di Magelang. Grudo satu fakultas dengan Anit di Fisip jurusan Hubungan Internasional (HI). Fisip bersebelahan dengan fakultas saya di Psikologi. Dan hampir tiap hari saya mampir ke Fisip untuk sekedar makan siang di Kantin Balik Semak (BALSEM) atau cuman berkeliling Fisip (dan sastra) untuk melihat aktivitas mahasiswanya dan membaca pamflet-pemflet di dinding Mading-nya. Tidak jarang juga saya ikut nongkrong dengan Grudo dan teman-temannya mahasiswa HI. Di situlah saya kenal Anit. Pertama berkenalan komentar pertama yang terucap adalah “Wah ada anak TN nyasar lagi nih” dan kemudian langsung akrab dengan obrolan ringan. Begitulah pertemanan kami berlanjut dengan nongkrong-nongkrong dan obrolan-obrolan ringan di selasar depan ruang kuliah anak-anak HI di Fisip. Bahkan pernah Anit meminjam gelang surfer hitam saya (yang lagi tren saat itu) dan pernah memberikan oleh-oleh kupluk rabi Yahudi dan replika bendera Israel setelah dia berkunjung ke Yerussalem bersama Gus Dur waktu itu. Dua benda yang sekarang raib, entah kemana. Di pertengahan masa kuliah kami sudah jarang bertemu karena Anit, juga menjalani kuliah di fakultas sastra.

Pada pertengahan tahun 1999 pada saat saya menjadi Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Psikologi. Saya mendapat kabar Anit juga menjadi Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Sastra. Kondisi Senat Mahasiswa Fakultas di UI pada waktu itu dikuasai oleh mahasiswa yang berafiliasi pada KAMMI dan Partai Keadilan. Demikian juga di Senat Mahasiswa tingkat Universitas. Psikologi yang sebagian besar mahasiswanya apolitis tidak ikut terpengaruh dengan arus besar Senat Mahasiswa di UI pada waktu itu. Oleh karena itu, saya merasa Psikologi dikucilkan dalam rencana-rencana aksi yang dilakukan oleh lembaga formal kemahasiswaan. Saya sendiri, secara individu lebih sepaham dengan lembaga informal di UI saat itu. Saya melihat di Sastra juga mengalami hal yang sama. Seringkali saya tidak melihat ada elemen dari Senat Mahasiswa Sastra dalam gerakan Senat Mahasiswa Universitas di UI. Walaupun ini hanya sebatas dugaan saja, saya merasa ada peran Anit disana agar gerakan mahasiswa tidak dikuasai oleh satu aliran saja. Satu sikap dan keberpihakan yang saya lihat sangat mirip dengan Bapaknya. Dan saya juga secara sadar pada waktu itu sebagai Ketua Senat Mahasiswa di Fakultas Psikologi tidak selalu mengamini setiap manuver gerakan yang dilakukan oleh Senat Mahasiswa Universitas.

Satu momen lagi yang bisa saya ceritakan dan tidak akan saya lupakan adalah pada saat Gus Dur dilengserkan oleh MPR dari kursi Presiden. Satu kondisi yang menyedihkan buat saya waktu itu. Manuver Gus Dur sebagai Presiden kerap membikin gerah beberapa kalangan yang selama itu telah menikmati kemapanannya dan juga kalangan yang sebelumnya mendukungnya menjadi Presiden. Saya mendengar hari itu adalah hari terakhir beliau berada di Istana. Dan berencana akan meninggalkan istana pada siang harinya. Saya ijin dari kantor untuk memberikan penghormatan dan mengiringi beliau meninggalkan Istana Negara. Suatu tempat yang menurut saya sejak awal tidak cocok dengan karakter beliau yang egaliter dan informal. Suatu tempat dimana pada suatu masa saat beliau menempatinya membuat gonjang ganjing kancah politik di Indonesia dengan kebijakan dan ucapannya yang nyeleneh. Namun di kemudian hari kebijakannya itulah yang menjadi pondasi banyak perubahan kondisi sosial, politik, dan budaya di negeri ini. Yang bisa saya sebut salah satunya adalah perlakuan terhadap kaum Tionghoa di negeri ini dan Reformasi dalam tubuh TNI.

Satu siang yang sangat memorable buat saya dan teman-teman yang mengagumi beliau. Kami berkumpul di rumah Mita 97 di belakang Museum Nasional dekat Taman Prasasti. Kami membuat satu kartu ucapan raksasa yang bertuliskan dukungan kami akan perjuangan Gus Dur selanjutnya setelah tidak menjadi Presiden. Kami menuliskan petikan lagu PADI, “Semua tak Sama” dalam kartu tersebut. Kami membawa kartu itu ke tengah massa di depan Istana Negara. Kami ikut arak-arakan yang mengiringi Gus Dur di tengah rakyat pendukungnya yang sangat mencintainya. Di tengah arak-arakan tersebut aku bertemu dengan Anit dan aku berinisiatif untuk menitipkan kartu tersebut kepada Anit untuk disampaikan ke Gus Dur. Mata saya berlinang di siang hari yang terik tersebut. Antara bersyukur bahwa Gus Dur telah kembali ke “habitat”nya di tengah rakyat Indonesia dan prihatin orang sebaik dan sepandai dia telah disia-siakan. Saya berjanji dalam hati pada waktu itu. Saya mengaguminya bukan mengkultuskannya. Saya sepaham dengan ide dan gagasannya mengenai kebangsaan dan ke-Indonesiaan. Saya merasa perlu mendukungnya dan melanjutkan serta menyebarkan perjuangannya, gagasan serta idenya yang melampaui jamannya agar bisa dipahami dan dimengerti orang banyak. Saya merasa perlu lebih mengenalnya lagi karena banyak hal yang setelah saya pahami tentang idenya membuat wawasan saya lebih kaya dan tidak picik dalam memandang suatu hal.


Selamat Jalan Gus !!! Aku akan lanjutkan mimpi perjuanganmu.


Cibubur, 1 Januari 2010



gambar di copas dari sini: http://anakbangsa69.wordpress.com/2008/06/10/guyonan-gusdur/

Rabu, 20 Mei 2009

ALUTSISTA vs Mobil Dinas

Hari ini saya sekeluarga merencanakan perjalanan ke Surabaya. Pagi sebelum berangkat ke Soekarno-Hatta melihat Breaking News tayangan di televisi tentang jatuhnya pesawat Hercules TNI AU di Magetan, Jawa Timur membuat perasaan menjadi sedih dan berduka. Sepertinya kejadian kecelakaan pesawat yang baru terjadi di Bandung masih menyisakan duka yang belum surut, kecelakaan baru terjadi kembali.

Walaupun saya terburu-buru mau berangkat ke airport, sempat saya dengar korban meninggal lebih dari 90 orang dan sebagian warga sipil. Pesawat tersebut sempat menabrak rumah warga dan menimbulkan korban jiwa dari warga. Sempat terlintas di benak saya, apakah ada rekan-rekan dari SMA ku yang ada di pesawat tersebut?
Belum disebutkan di berita tersebut apa penyebab pasti dari kecelakaan itu. Namun pembaca berita sempat membacakan tentang usia pesawat yang sudah tua dan anggaran pertahanan negara yang minim dan dikurangi oleh pemerintah disinyalir menjadi salah satu penyebab berbagai kecelakaan pesawat militer yang terjadi akhir-akhir ini.
Teringat diskusi di milis beberapa saat yang lalu tentang minimnya anggaran pertahanan Negara RI dibanding negara-negara lainnya, menyebabkan alutsista yang dimiliki RI terasa sangat kurang dan ketinggalan dibanding negara tetangganya. Ketidakmampuan RI dalam membeli alutsista yang canggih dan pemenuhan anggaran pertahanan yang tidak sebanding dengan luas wilayah yang harus dilindungi ini diamini oleh seluruh anggota milis. Bahkan ada juga milister yang menceritakan tentang kesejahteraan prajurit yang sangat memprihatinkan, sehingga seorang militer tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya dari gajinya sebagai seorang tentara dan harus “ngobyek” untuk bisa hidup layak.

Namun, pada saat tiba di Bandara Juanda selepas mengambil bagasi dan akan menyeberang ke lapangan parkir, saya tertegun dan berhenti sesaat ketika melihat ada mobil mewah yang terparkir di tempat penjemputan VIP yang bermerk JAGUAR……….Ya JAGUAR kawan-kawan. Bukannya saya belum pernah melihat mobil bermerk JAGUAR sebelumnya. Bahkan saya bersyukur, saya termasuk dalam segelintir orang di Indonesia yang pernah naik JAGUAR, walaupun waktu itu cuman nebeng mobil atasan saya.

Kalau dilihat dari lintasan tempat mobil mewah tersebut diparkir, mobil tersebut harusnya hanya berhenti sementara, namun yang saya lihat tempat duduk sopir di mobil tersebut kosong. Dan kelihatannya mobil tersebut sudah berhenti cukup lama di tempatnya, jika dilihat dari antrian mobil yang panjang di belakangnya.

Namun yang membuat saya tertegun dan merasa ada perasaan yang aneh dan agak bingung adalah mobil tersebut berplat nomer MILITER TNI AU……..Yap TNI AU kawan-kawan ………dengan bintang 2 yang ada di atas plat nomer tersebut membuat saya berpikir, kalau bintang 2 nya aja mobil dinasnya JAGUAR gimana yang bintang 4 yach? Ini anggaran pertahanan yang kurang atau penggunaan anggaran yang tidak tepat?
Prajurit yang harus “ngobyek” untuk bertahan hidup, sementara perwira tingginya menjadi “obyek” dengan mengendarai mobil dinas mewah.


Sempat terpikir mungkin mobil mewah tersebut adalah kendaraan milik pribadi sang Jendral yang diberi plat nomer dinas. Tapi bukankah itu juga merupakan pelanggaran. Yang walaupun terkesan remeh namun mobil tersebut diparkir di Bandara umum yang juga dilihat oleh masyarakat umum.
Sungguh tak elok nian perilaku petinggi TNI tersebut jika kendaraan tersebut merupakan kendaraan pribadi.

Teringat kembali tentang jatuhnya pesawat di Bandung & Magetan.
Teringat kembali tentang alutsista RI yang makin ketinggalan.
Teringat kembali tentang prajurit TNI yang “ngobyek”.
Teringat kembali tentang “pemberontakan” prajurit TNI dengan atasannya di Papua
Aaaaaccchhhh INDONESIA-ku.







Parkir Motor Polisi di trotoar depan KOMDAK

Banyak harapan yang kita sematkan pada kepolisian negara kita. Bahkan terkadang harapan tersebut terasa berlebihan akan bisa dipenuhi oleh lembaga penegak hukum tersebut. Namun selaku pemegang kewenangan dalam penegakan aturan dan disiplin berlalu lintas, tidak berlebihan kiranya kita berharap rekan-rekan aparat kepolisian bisa memberikan contoh dan bertindak sebagai role model di masyarakat.

Namun yang saya temui tiap pagi saat berangkat kerja, ketika turun dari kendaraan umum di depan KOMDAK (Polda Metro Jaya) merupakan contoh buruk aparat kepolisian yang ditampakkan secara nyata setiap pagi di hadapan ribuan masyarakat yang melewatinya


Terus terang parkir motor ini selain menyita hak pejalan kaki yang melewati trotoar tersebut, juga menambah semrawut tempat tersebut yang setiap hari dilewati oleh ribuan orang dan makin mencoreng wajah kepolisian kita di mata masyarakat.

Lah ngelanggar aturan kok di halaman depan rumah sendiri

Apakah tempat parkir motor di KOMDAK sudah sedemikian sempitnya sehingga para Polisi ini memarkir kendaraan roda 2 nya di trotoar?

Atau apakah para Polisi tersebut “tidak mampu” membayar parkir motor di KOMDAK yang konon tarifnya seperti Mal dan gedung perkantoran?

Tapi mbok ya jangan dipertontonkan tiap pagi di depan masyarakat gitu ach!

Tak Elok jadinya!

Sabtu, 14 Februari 2009

Resensi Film: "Defiance" & "Valkyrie"

Hari-hari ini ada 2 film menarik berlatar belakang perang dunia 2 yang diputar di bioskop Jakarta. Kedua film tersebut bersetting kondisi perang di Negara Jerman. Kebetulan juga 2 film ini dibintangi oleh 2 aktor beken Hollywood (Daniel Craig dan Tom Cruise), jadi cukup menarik perhatian saya walaupun belum tahu sinopsis ceritanya sebelum menontonnya.
Film pertama berjudul “Defiance”, dibuka dengan adegan pembantaian tentara Jerman di sebuah perkampungan Yahudi. Film yang berdasar kisah nyata ini (versi Yahudi tentunya) bercerita tentang sekelompok bangsa Yahudi yang sedang kejar-kejar oleh tentara Jerman sehingga mereka harus mengungsi ke dalam hutan dan membentuk perkampungan disana.
Pemimpin sekelompok orang ini adalah Truvia (diperankan oleh Daniel Craig). Tidak seperti film-film tentang pembantaian bangsa Yahudi oleh Nazi pada umumnya, dimana digambarkan bangsa Yahudi pada perang dunia 2 cenderung menjadi bangsa yang pasif terhadap ulah Nazi, di film ini Truvia cs selain bertahan hidup di hutan mereka juga sesekali mengadakan perlawanan dengan menggunakan taktik perang yang mirip dengan taktik perang gerilyanya Panglima Sudirman. Mereka membangun komunitas dalam hutan dan bila musuh sudah mulai dekat mereka berpindah lokasi dan membangun komunitas baru.
Pada dasarnya Truvia sendiri sebenarnya hanya berniat mempertahankan hidup komunitasnya saja (survival) namun ada sekelompok Yahudi lain yang dipimpin oleh adiknya Truvia, Buz yang memimpin gerakan perlawanan dan bergabung dengan tentara Rusia yang juga sedang berperang dengan Nazi (Yahudi bersekutu dengan tentara komunis?) dengan alasan tentara Rusia memiliki perlengkapan perang yang lebih canggih dan jumlah pasukan yang lebih banyak.
Cerita bergulir dengan komunitas Yahudi-nya Truvia yang makin terdesak ke dalam hutan sementara anggota komunitas yang berperan sebagai petarung makin sedikit dengan bergabungnya Buz cs dengan tentara Rusia. Film ini menjadi semakin menarik karena tidak hanya diceritakan jalannya “perang gerilya” ala Yahudi saja. Namun juga dibumbui kisah cinta (bayangkan ada adegan pernikahan ala Yahudi di tengah hutan di tengah peperangan), konflik antar individu dalam komunitas (Truvia sempat tidak dipercaya oleh pasukannya lagi sebagai pemimpin, dan apa yang dilakukannya terhadap anggota pasukan yang memberontak tersebut? ………he he he lihat saja sendiri filmnya), dan bagaimana iman para Yahudi tersebut terhadap Yahweh-nya (Tuhannya) tentang tanah yang diperjanjikan untuk bangsa Yahudi (ada dialog satire waktu mereka sedang kabur, di hadapan mereka terbentang rawa-rawa yang luas, mereka berharap keajaiban Musa terjadi seperti membelah laut merah).
Menurut saya film ini menarik bukan saja pada ceritanya dan aktor/aktrisnya. Namun saya juga membayangkan film seperti ini tidak akan pernah diputar di bioskop kita di jaman orde baru dulu (ingat film Schindler List-nya Steven Spielberg dan The Pianist walaupun menang Oscar tidak pernah diputar di bioskop). Film ini saya yakini sebagai propaganda Yahudi kepada dunia bahwa apa yang dialami oleh Palestina sekarang, dulu juga pernah dialami oleh bangsa Yahudi.
Film ini tidak banyak diliput dan diulas oleh rubrik resensi film yang ada di media umum, saya yakin jika kalangan islam konservatif dan kaum pembela Palestina tahu ada film bertopik Yahudi, kemungkinan besar mereka akan menolak untuk diputar di Indonesia (jadi sebelum mereka sadar, tontonlah film ini selama masih diputar he he he promosi: Mode ON)

Film kedua berjudul “Valkyrie”, juga berdasarkan kisah nyata. Film ini bercerita tentang seorang kolonel Nazi bernama Stauffenberg (diperankan oleh Tom Cruise) yang tidak sepaham dengan faham Nazi yang diusung oleh Hitler. Dia menjadi tentara karena ingin berbakti pada negaranya. Stauffenberg berasal dari keluarga kaya di Jerman namun karena sifat nasionalismenya dia bergabung dengan militer negaranya dalam PD 2.
Film dibuka dengan adegan serangan sekutu terhadap camp Jerman di Afrika Utara, yang mengakibatkan cacatnya mata dan tangan kanan Stauffenberg yang harus diamputasi. Pulang ke Jerman Stauffenberg bergabung dengan koalisi militer dan sipil Jerman yang tidak sepaham dengan ideologi Nazi yang diusung oleh Hitler. Beberapa kali koalisi ini merencanakan pembunuhan terhadap Hitler namun selalu gagal. Hingga suatu saat Stauffenberg berhasil mendapatkan undangan rapat dengan Hitler pada saat Hitler akan bertemu dengan Mussolini. Stauffenberg menawarkan dirinya yang akan melakukan pengeboman langsung di bunker militer tempat pertemuan tersebut.
Rencana yang telah disusun mulanya berjalan mulus. Bom berhasil meledak namun kendala komunikasi yang merupakan bagian dari rencana pembunuhan tersebut menjadi plot penting dari hasil akhir “kudeta” ini. Apakah Hitler terbunuh pada pengeboman tanggal 20 juli tersebut? Tonton sendiri filmnya. Yang jelas sejarah mencatat bahwa Hitler mati karena bunuh diri.
Valkyrie sendiri adalah nama dari sebuah operasi yang menggerakkan tentara cadangan Jerman jika terjadi kekosongan kepemimpinan di Jerman pada saat PD 2. Stauffenberg memanipulasi operasi Valkyrie ini dengan “memfitnah” pasukan SS (semacam agen rahasianya Nazi) yang akan melakukan kudeta saat Hitler dikabarkan “mati”.
Yang juga menarik dari film ini adalah memberikan satu lagi contoh buat saya betapa tipis beda antara predikat “sang pengkhianat” dengan “sang pahlawan” dalam diri seseorang. Betapa sebutan pengkhianat atau pahlawan tersebut akan layak dan sah jika diberikan oleh pihak yang menang.
Stauffenberg sebagai seorang militer yang menentang Panglima Tertinggi militernya sekaligus kepala negaranya pada saat itu akan sangat mudah di cap sebagai seorang pengkhianat sehingga langsung dieksekusi mati. Namun sekarang oleh pemerintah Jerman Stauffenberg dinobatkan sebagai salah satu pahlawan perlawanan Jerman atas Nazi yang notabene adalah doktrin “resmi” Jerman sendiri pada waktu itu.
Saya membayangkan jika ada militer di Indonesia yang secara hati nurani kemanusiaannya merasa tidak sesuai dengan perintah atasannya (misalnya: pembumihangusan Timor Leste, Opsus Papua, Operasi GAM) kemudian tidak mau melaksanakan perintah tersebut, sebutan apakah yang pantas diberikan kepadanya? Saya tidak bicara dalam konsep penegakan ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tapi bicara bagaimana cara melaksanakan operasi tersebut yang disinyalir terjadi pelanggaran HAM dan jatuhnya korban di pihak rakyat sipil.
Film yang disutradarai oleh Bryan Singer (X-Men, Superman Returns) ini menyisakan perenungan buat saya tentang makna sebuah perjuangan ideologi yang diyakini walaupun bertentangan dengan ideologi rezim pada saat itu, betapapun hasil akhirnya patut dihargai.
Tonton filmnya dan mohon tanggapan atau resensi tandingannya.

Jamil

Senin, 12 Januari 2009

Muchdi PR divonis bebas - Kado pahit penegakan HAM di akhir 2008

Kalangan penegak Hak Azasi Manusia (HAM) di Indonesia mendapatkan kado pahit di akhir tahun 2008 kemarin. Tepat pada tanggal 31 Desember 2008, tersangka otak pembunuhan Munir, Muchdi PR di vonis bebas oleh majelis hakim PN Jakarta Selatan. Otomatis penyelesaian kasus pembunuhan Munir kembali gelap.
Semua dakwaan yang dituduhkan kepada Muchdi dinyatakan tidak terbukti oleh majelis hakim. Vonis ini tentunya mengejutkan kita semua, walaupun sebenarnya jika kita ikuti jalannya persidangan selama ini bisa diduga gambaran vonisnya.

Pihak kejaksaan yang tidak bisa memberikan bukti-bukti kuat dan ketidak mampuan mendatangkan saksi-saksi kunci dalam kasus ini menjadi salah satu penyebab jatuhnya vonis tersebut, selain juga karena para saksi yang sudah diperiksa mencabut Berita Acara Pemeriksaan (BAP) nya pada saat sidang pengadilan dijalankan. Ketidak kooperatifan Badan Intelejen Negara (BIN) yang disinyalir terlibat secara kelembagaan dalam kasus pembunuhan Munir ini juga turut andil dalam jatuhnya keputusan vonis tersebut.

Pihak keluarga, Suciwati dan kalangan LSM yang selama ini mengawasi jalannya persidangan KONTRAS dan KASUM sangat kecewa dengan keputusan hakim tersebut dan langsung mendesak pihak kejaksaan untuk segera mengajukan kasasi. Pihak Munir juga meminta dukungan dari KOMNAS HAM dan Komisi Yudisial agar melakukan kajian terhadap keputusan para hakim tersebut.

Memang keputusan hukum harus ditempatkan sebagai hal yang utama. Namun tidak maksimalnya tuntutan yang diajukan oleh pihak kejaksaan juga harus diwaspadai agar kasus ini tidak berhenti sampai disini saja. Perlu adanya bukti-bukti baru yang harus diajukan dan saksi-saksi yang sudah diperiksa harus “diamankan” agar jangan sampai pada saat persidangan saksi-saksi tersebut ramai-ramai mencabut kesaksiannya.

Bukti-bukti yang diajukan berupa CDR (Calling Data Record) antara telepon Muchdi PR dan Pollycarpus yang tidak disertai substansi percakapan sangat mudah dipatahkan dengan alibi Muchdi PR bahwa pada tanggal-tanggal percakapan tersebut telepon dengan nomer tersebut tidak berada di tangannya dan dia sedang berada di luar negeri. Demikian juga copy surat perintah penugasan BIN terhadap Pollycarpus tidak bisa membuktikan keterkaitan dengan pembunuhan terhadap Munir.

Kita memang patut bersedih hati atas kondisi ini. Penegakan kasus HAM di Indonesia ke depan tampak akan suram. Masih kuatnya pelanggar HAM dalam lobby di para penegak hukum serta kekuatan dalam menekan saksi menjadi penghalang pengungkapan kasus HAM di negeri ini.

Kamis, 01 Januari 2009

Agresi Israel atas Palestina: Keprihatinan dunia di akhir 2008

Tahun 2008 diakhiri oleh keprihatinan dunia akibat agresi Israel atas Palestina. Israel dengan persenjataan canggihnya melakukan penyerbuan ke Palestina. Tidak pelak lagi korban berjatuhan dari kalangan sipil. Tindakan Israel melakukan agresi ini sontak menuai kecaman dari seluruh dunia. Namun seperti juga sekutu abadinya, Amerika Serikat waktu menyerbu Irak, Israel mengabaikan kecaman dari dunia atas tindakannya tersebut.

Israel beralasan penyerbuan ini akibat ulah Hamas yang secara rutin menembakkan roketnya ke wilayah Israel. Alasan ini tentunya bisa dipertanyakan lebih lanjut mengingat kecanggihan persenjataan dan sistem radar yang dimilliki oleh Israel. Jika alasan tersebut yang menjadi pembenar oleh Israel dalam menyerang Palestina, tentunya akan sangat mudah bagi Israel untuk mendeteksi dimana letak wilayah rudal tersebut ditembakkan, sehingga akan sangat mudah bagi Israel untuk melumpuhkan persenjataan Hamas yang kualitasnya jauh di bawah Israel. Bukannya menghancurkan fasilitas sipil dan perumahan rakyat sipil yang tidak berdosa. Namun Israel juga masih berkilah dengan memberikan alas an bahwa di lokasi pemukiman tersebutlah tempat para pemimpin Hamas tinggal dan tempat fasilitas militer Hamas dijalankan.

Alasan yang terdengar familiar kalau kita mencoba mengingat kembali alasan yang diberikan Amerika Serikat (AS) pada saat menyerbu Irak enam tahun silam. AS menyatakan dalam laporan intelejennya bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal yang membahayakan dunia. Sehingga keamanan AS terancam. Namun, seperti kita ketahui bersama klaim senjata pemusnah massal tersebut tidak pernah terbukti, dan sampai sekarang AS masih betah bercokol di Irak.
Kembali ke peristiwa agresi Israel tersebut. Israel menyatakan bahwa yang mereka perangi adalah otoritas pemerintahan Palestina yang saat ini dilakukan oleh kubu Hamas. Salah satu faksi politik besar di Palestina ini terpilih untuk memerintah di Palestina sejak Juni 2007. Sejak saat itu proses perundingan perdamaian yang telah dilakukan oleh pihak Palestina dan Israel seakan kembali ke titik awal. Israel yang tidak mau menerima kenyataan bahwa mulai saat itu Palestina diperintah oleh kubu garis keras Palestina, mulai memperkuat armada militernya untuk siap berkonflik dengan Palestina. Faksi Fatah yang cenderung moderat dan melakukan perjuangannya melalui meja diplomasi seakan tenggelam oleh kebijakan garis keras faksi Hamas.
Terpilihnya Hamas sebagai otoritas pemerintahan di Palestina juga tidak terlepas dari kondisi yang dialami oleh dunia muslim akibat sikap Barat yang selalu curiga dengan dunia islam. Militansi dan sikap menempuh jalan kekerasan makin timbul akibat ketidak adilan yang dilakukan oleh AS dan sekutunya terhadap pihak yang dituduh bertanggung jawab atas tindakan terorisme di seluruh dunia. Tawanan yang dituduh sebagai teroris tidak pernah mendapakan pengadilan yang terbuka. Bahkan tawanan di Guantanamo, selain tidak pernah diadili juga diperlakukan tidak layak. Bahkan banyak terungkap pelecehan HAM dan agama yang terjadi di penjara tersebut.

Rakyat Palestina seakan lebih percaya dengan kebijakan garis keras yang akan ditempuh oleh Hamas dalam memperjuangkan kemerdekaan mereka, dibandingkan dengan jalan diplomasi yang ditempuh oleh Fatah di dunia internasional. Hamas yang menjadi otoritas resmi sebagai pemerintahan di Palestina tetap melakukan kebijakan garis kerasnya. Namun Hamas seakan lupa dengan Israel yang memiliki persenjataan militer yang salah satu tercanggih saat ini, dan dukungan sekutunya AS di diplomasi dunia internasional yang siap melakukan veto atas keputusan apapun dari DK PBB yang merugikan Israel. Kebijakan Hamas ini seakan menjadi bumerang bagi rakyat Palestina yang tidak berdaya dengan perilaku elit politiknya yang tidak mau bersatu.

Namun sekali lagi, alasan penembakan roket yang dilakukan oleh Hamas tidak boleh dijadikan alasan pembenar untuk membunuh rakyat Palestina yang tidak berdosa. Pihak Hamas juga perlu diingatkan agar jangan sampai melakukan “kebijakan” yang pernah dilakukan oleh Hizbullah di Lebanon dengan menggunakan rakyat sipil sebagai tameng dan untuk menarik simpati dari dunia internasional.
Solidaritas internasional juga perlu digalang. Tidak hanya dari kalangan Negara yang mayoritas penduduknya muslim saja. Ini adalah tragedi kemanusiaan yang lintas batas. Setiap manusia yang memiliki hati nurani pasti akan tersentuh dengan kondisi yang dialami oleh rakyat Palestina. Tidak hanya dengan bantuan kemanusiaan berupa bahan makanan dan obat-obatan. Diplomasi dan resolusi konflik juga harus terus dibangun. Peran PBB melalui Dewan Keamanannya juga perlu ditingkatkan. Patut dipikirkan sanksi keras atas tindakan Israel, sehingga tidak ada negara lain lagi yang merasa berhak bertindak sewenang-wenang dengan rakyat sipil Negara lainnya.
Pemerintah Indonesia sebaiknya menggunakan kekuatan hubungan diplomatiknya dengan negara-negara Arab, agar memberikan bantuannya kepada rakyat Palestina. Juga agar Negara-negara Arab tersebut bisa bersikap tegas terhadap perilaku Israel, karena tindakan Israel ini juga memicu ketidak stabilan regional di kawasan tersebut. Sikap Presiden SBY yang langsung memberikan reaksi keras atas agresi Israel ini sudah tepat, mengingat RI tidak memiliki hubungan diplomatik resmi dengan Israel. Namun RI juga berkepentingan dengan peristiwa tersebut. Penduduk RI yang mayoritas muslim memiliki solidaritas persaudaraan muslim yang cukup kuat. Dikhawatirkan militansi dan kalangan muslim garis keras di RI akan menempuh tindakan kekerasan di wilayah Indonesia atas pihak-pihak Barat (baca: AS) di Indonesia akibat “dukungan” yang mereka berikan terhadap pihak Israel.

Senin, 17 November 2008

Manusia Pelangi

Aku bukan seorang Liberalis
Tujuan hidupku berwarna putih

Aku bukan seorang Fundamentalis
Pendamping hidupku berwarna hijau

Aku bukan seorang Hedonis
Takdirku berwarna kuning

Aku bukan seorang Medioker
Nasibku berwarna biru

Aku bukan seorang Revolusioner
Cita-citaku berwarna merah

Aku bukan seorang yang Skeptis
Masa depanku berwarna jingga

Aku bukan seorang Radikal
Pandangan hidupku berwarna ungu

Aku adalah Pelangi