Jumat, 01 Januari 2010

In Memoriam: Gus Dur - Kehilangan di Penghujung tahun 2009

Pagi di awal tahun 2010. Baru beberapa jam meninggalkan tahun 2009 yang penuh warna dan dinamika. Ada yang berwarna “hitam” dan ada yang berwarna “putih”, tak jarang pula ada yang berwarna ”kelabu”. Namun yang jelas dalam diriku, penghujung tahun 2009 ini berwarna sangat “hitam”.

Ada rasa kehilangan yang amat sangat di akhir 2009 ini. Tepatnya pada tanggal 30 Desember 2009 malam. Rasa kehilangan akan seseorang yang sangat menginspirasi diriku dan mempengaruhi cara berpikir dan bertindak selama ini. Malam itu aku mendengar K.H. Abdurrahman Wahid yang akrab kita kenal dengan panggilan Gus Dur berpulang meninggalkan kita semua.

Sebenarnya beberapa hari sebelumnya, aku sudah mendengar beliau sedang menjalani perawatan di rumah sakit dikarenakan kelelahan dan menjalani pengobatan gigi. Sebagai seseorang penderita diabetes dan sudah menjalani terapi cuci darah 3 kali seminggu, tentunya kondisi tersebut tidak bisa dianggap enteng. Aku bisa memahami hal tersebut karena teringat dengan kondisi Papaku yang juga menderita penyakit yang sama dan harus menjalani cuci darah 2 kali seminggu sangat rentan terhadap kondisi yang menyebabkan dirinya kelelahan. Dan kabar menyedihkan itu akhirnya kita dengar juga.

Rasa kehilangan yang amat sangat membuat ingin menulis artikel ini, untuk mencoba mengenang kembali sosok beliau yang sangat menginspirasi hidupku. Pengaruh beliau tidak sedikit dalam membentuk jalan pikiranku serta sikap-sikapku dalam dalam menanggapi kondisi sosial yang terjadi disekelilingku. Pengaruh beliau dalam diriku masuk melalui tulisan-tulisannya dan buku-bukunya serta tindakan-tindakan dan pernyataan-pernyataan yang dikeluarkannya. Kisah hidupnya yang aku baca melalui buku biografi dan penuturan orang-orang terdekatnya juga ikut menginspirasi diriku. Seringkali aku mendengar banyak orang di sekelilingku yang mencemooh dirinya akibat sikapnya yang kontroversial dan pernyataannya yang mengejutkan. Seringkali pula aku merasa perlu untuk menahan diri untuk tidak mendebat persepsi orang-orang tersebut terhadap beliau. Aku sangat mengaguminya namun aku tidak mau mengkultuskan dirinya.

Persinggunganku dengan sosok Gus Dur tidak bisa dilepaskan dengan masa kecilku yang aku jalani di kota Gresik, Jawa Timur. Kota kecil dimana sebagian besar penduduknya adalah warga Nahdliyin, sebutan untuk pemeluk agama Islam dibawah naungan dan bimbingan organisasi kemasyarakatan yang bernama Nahdlatul Ulama (NU). Keluargaku adalah keluarga NU sejati. Bahkan aku dan adikku serta semua saudara-saudara sepupuku yang jumlahnya puluhan itu hampir semua pendidikan tingkat sekolah dasarnya (SD) dijalani di Madrasah Ibtidaiyah yang berlatar belakang NU yang tersebar di kota Gresik.

Aku sendiri pada waktu itu menjalani pendidikan dasar di Madrasah Ibtidaiyah Nahdlatul Ulama (MINU) Tratee Gresik. Salah satu sekolah berlatar belakang NU terbaik di kota Gresik. Waktu itu sekolahnya dipisah antara siswa putra dan siswa putri. Siswa putra masuk sekolah pagi hari dan siswa putri masuk sekolahnya siang hari setelah waktu dhuhur. Belakangan yayasan yang menaungi sekolah ini membentuk SD NU Tratee, yang tidak memisahkan siswa putra dan putrinya pada saat bersekolah. Namun MINU Tratee ini sendiri saat ini tetap eksis.

Pelajaran di sekolah yang aku jalani waktu itu sama dengan SD-SD yang lain pada umumnya. Namun ditambahkan mata pelajaran bermuatan keagamaan seperti Sejarah Islam, Fiqih, Bahasa Arab, Tajwid, Kajian Al-Quran dan Hadits, dan karena berlatar belakang NU inilah ada mata pelajaran yang namanya ke-NU-an, yang mempelajari mengenai Khittah NU, latar belakang berdirinya Ormas NU, tujuan berdirinya, garis besar perjuangan NU sampai organisasi-organisasi kemasyarakatan lain yang berafiliasi dengan NU. Mata pelajaran ke-NU-an inilah yang meng”indoktrinasi” diriku untuk menjadi NU sejati. Sejati disini bermakna bahwa membentuk metode berpikir dan sikap dalam memahami dan menjalankan agama Islam dalam aktivitas dan perbuatan sehari-hari secara jujur, moderat dan sangat menjunjung tinggi pluralisme dan menghargai kebebasan berpendapat dan kebebasan berpikir serta memberikan penghargaan terhadap orang lain tanpa melihat latar belakang ras, gender, dan agamanya.

Gus Dur sebagai cucu KH. Hasyim Asyari, pendiri NU sangat dicintai oleh pengikut NU. Bahkan tidak jarang ada warga NU yang mengkultuskan dirinya. Sosok Gus Dur sendiri pada saat saya SD, saya kenal sebagai ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Pada waktu itu Gus Dur saya kenal sebagai sosok yang sering memberikan pernyataan yang bertentangan dengan kebijakan penguasa Orde Baru. Akibatnya peran NU saat itu sebagai ormas terbesar, terpinggirkan dalam percaturan politik di Indonesia dan seringkalli hanya didekati oleh penguasa pada saat menjelang Pemilu saja. Namun pengaruh Gus Dur sebagai individu sendiri sangat besar. Sosoknya yang kontroversial sangat menarik banyak orang untuk membicarakannya. Tulisan dan pikirannya serta ucapannya menjadi ulasan banyak media pada waktu itu yang mencoba menyajikan alternatif yang berbeda dengan kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Orde Baru.

Perbedaan kecil namun dianggap kontroversial pada waktu itu adalah perbedaan mengenai penentuan hari raya Idul Fitri. Hal yang dianggap biasa setelah masa reformasi, namun yang saya ingat pada waktu itu perbedaan penentuan pendapat mengenai tanggal hari raya ini sempat dibawa ke ranah politik dan dianggap sebagai sikap menentang keputusan pemerintah (kondisi yang juga dicoba dipolitisasi juga sampai dengan saat ini). Kenapa kejadian ini saya ingat? Karena ada sikap dari Papa saya dan sebagian besar warga di Gresik yang kemudian mengikuti pendapat Gus Dur dalam penentuan hari raya Idul Fitri dan hal ini tentunya mempengaruhi saya dan keluarga saya dalam menyambut hari yang sangat saya nanti-nantikan tersebut. Ceritanya begini, hari itu hari-hari terakhir bulan ramadhan. Di penanggalan kalender jatuhnya hari Lebaran 2 hari lagi. Namun kami mendengar berita bahwa warga NU yang menjalankan rukyat di daerah Tanjung Kodok, Lamongan telah melihat hilal. Berita tersebut menyebar ke seantero kota Gresik. Pada malam itu Papa saya sedang bekerja shift 3 di Pabrik Semen Gresik. Tengah malam itu saya berada di Masjid Jami’ di depan alun-alun kota Gresik untuk menunggu fatwa ulama NU mengenai jatuhnya hari raya. Pagi dini hari tersebut datanglah surat faksimili yang ditanda tangani oleh Ketua PBNU waktu itu KH Abdurrahman Wahid dari kantor PBNU Jakarta yang menentukan jatuhnya hari raya Idul Fitri pada hari tersebut. Segera kabar itu menyebar ke seantero kota Gresik. Saya menelepon Papa ke Pabrik dan mengabarkan surat faksimili tersebut dan meminta pendapat Papa. Pertanyaan beliau sangat sederhana, “Siapa yang menanda tangani surat pemberitahuan tersebut?”. “Gus Dur”, jawab saya pendek. “Ya udah, kita ikut Gus Dur. Papa segera pulang”, jawab Papa lagi. Segera pada saat itu juga, kira-kira menjelang pukul 2 dini hari kami sekeluarga bersiap menyambut Lebaran di pagi harinya. Mama menyiapkan dan berkeliling memberikan zakat fitrah yang memang dalam tradisi keluarga saya memberikan zakat fitrah pada malam Lebaran kepada tetangga dan kerabat dekat yang membutuhkan. Pagi harinya saya menyaksikan hampir seluruh warga Gresik dan warga Nahdliyin di Jawa Timur merayakan Lebaran sesuai instruksi dari PBNU.

Sosok Gus Dur juga terasa sangat dekat waktu saya kuliah di UI Depok. Kali ini melalui putri ketiganya, Anita Hayatunnufus. Yang sering dipanggil Anit oleh kawan-kawan dekatnya. Sebetulnya kami tidak satu fakultas. Saya mengenal Anit melalui Grudo, teman satu SMA saya di Magelang. Grudo satu fakultas dengan Anit di Fisip jurusan Hubungan Internasional (HI). Fisip bersebelahan dengan fakultas saya di Psikologi. Dan hampir tiap hari saya mampir ke Fisip untuk sekedar makan siang di Kantin Balik Semak (BALSEM) atau cuman berkeliling Fisip (dan sastra) untuk melihat aktivitas mahasiswanya dan membaca pamflet-pemflet di dinding Mading-nya. Tidak jarang juga saya ikut nongkrong dengan Grudo dan teman-temannya mahasiswa HI. Di situlah saya kenal Anit. Pertama berkenalan komentar pertama yang terucap adalah “Wah ada anak TN nyasar lagi nih” dan kemudian langsung akrab dengan obrolan ringan. Begitulah pertemanan kami berlanjut dengan nongkrong-nongkrong dan obrolan-obrolan ringan di selasar depan ruang kuliah anak-anak HI di Fisip. Bahkan pernah Anit meminjam gelang surfer hitam saya (yang lagi tren saat itu) dan pernah memberikan oleh-oleh kupluk rabi Yahudi dan replika bendera Israel setelah dia berkunjung ke Yerussalem bersama Gus Dur waktu itu. Dua benda yang sekarang raib, entah kemana. Di pertengahan masa kuliah kami sudah jarang bertemu karena Anit, juga menjalani kuliah di fakultas sastra.

Pada pertengahan tahun 1999 pada saat saya menjadi Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Psikologi. Saya mendapat kabar Anit juga menjadi Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Sastra. Kondisi Senat Mahasiswa Fakultas di UI pada waktu itu dikuasai oleh mahasiswa yang berafiliasi pada KAMMI dan Partai Keadilan. Demikian juga di Senat Mahasiswa tingkat Universitas. Psikologi yang sebagian besar mahasiswanya apolitis tidak ikut terpengaruh dengan arus besar Senat Mahasiswa di UI pada waktu itu. Oleh karena itu, saya merasa Psikologi dikucilkan dalam rencana-rencana aksi yang dilakukan oleh lembaga formal kemahasiswaan. Saya sendiri, secara individu lebih sepaham dengan lembaga informal di UI saat itu. Saya melihat di Sastra juga mengalami hal yang sama. Seringkali saya tidak melihat ada elemen dari Senat Mahasiswa Sastra dalam gerakan Senat Mahasiswa Universitas di UI. Walaupun ini hanya sebatas dugaan saja, saya merasa ada peran Anit disana agar gerakan mahasiswa tidak dikuasai oleh satu aliran saja. Satu sikap dan keberpihakan yang saya lihat sangat mirip dengan Bapaknya. Dan saya juga secara sadar pada waktu itu sebagai Ketua Senat Mahasiswa di Fakultas Psikologi tidak selalu mengamini setiap manuver gerakan yang dilakukan oleh Senat Mahasiswa Universitas.

Satu momen lagi yang bisa saya ceritakan dan tidak akan saya lupakan adalah pada saat Gus Dur dilengserkan oleh MPR dari kursi Presiden. Satu kondisi yang menyedihkan buat saya waktu itu. Manuver Gus Dur sebagai Presiden kerap membikin gerah beberapa kalangan yang selama itu telah menikmati kemapanannya dan juga kalangan yang sebelumnya mendukungnya menjadi Presiden. Saya mendengar hari itu adalah hari terakhir beliau berada di Istana. Dan berencana akan meninggalkan istana pada siang harinya. Saya ijin dari kantor untuk memberikan penghormatan dan mengiringi beliau meninggalkan Istana Negara. Suatu tempat yang menurut saya sejak awal tidak cocok dengan karakter beliau yang egaliter dan informal. Suatu tempat dimana pada suatu masa saat beliau menempatinya membuat gonjang ganjing kancah politik di Indonesia dengan kebijakan dan ucapannya yang nyeleneh. Namun di kemudian hari kebijakannya itulah yang menjadi pondasi banyak perubahan kondisi sosial, politik, dan budaya di negeri ini. Yang bisa saya sebut salah satunya adalah perlakuan terhadap kaum Tionghoa di negeri ini dan Reformasi dalam tubuh TNI.

Satu siang yang sangat memorable buat saya dan teman-teman yang mengagumi beliau. Kami berkumpul di rumah Mita 97 di belakang Museum Nasional dekat Taman Prasasti. Kami membuat satu kartu ucapan raksasa yang bertuliskan dukungan kami akan perjuangan Gus Dur selanjutnya setelah tidak menjadi Presiden. Kami menuliskan petikan lagu PADI, “Semua tak Sama” dalam kartu tersebut. Kami membawa kartu itu ke tengah massa di depan Istana Negara. Kami ikut arak-arakan yang mengiringi Gus Dur di tengah rakyat pendukungnya yang sangat mencintainya. Di tengah arak-arakan tersebut aku bertemu dengan Anit dan aku berinisiatif untuk menitipkan kartu tersebut kepada Anit untuk disampaikan ke Gus Dur. Mata saya berlinang di siang hari yang terik tersebut. Antara bersyukur bahwa Gus Dur telah kembali ke “habitat”nya di tengah rakyat Indonesia dan prihatin orang sebaik dan sepandai dia telah disia-siakan. Saya berjanji dalam hati pada waktu itu. Saya mengaguminya bukan mengkultuskannya. Saya sepaham dengan ide dan gagasannya mengenai kebangsaan dan ke-Indonesiaan. Saya merasa perlu mendukungnya dan melanjutkan serta menyebarkan perjuangannya, gagasan serta idenya yang melampaui jamannya agar bisa dipahami dan dimengerti orang banyak. Saya merasa perlu lebih mengenalnya lagi karena banyak hal yang setelah saya pahami tentang idenya membuat wawasan saya lebih kaya dan tidak picik dalam memandang suatu hal.


Selamat Jalan Gus !!! Aku akan lanjutkan mimpi perjuanganmu.


Cibubur, 1 Januari 2010



gambar di copas dari sini: http://anakbangsa69.wordpress.com/2008/06/10/guyonan-gusdur/

1 komentar:

Monterico Adrian mengatakan...

assa.
wah biografi yg bagus bang, iya nih kasian jg dulu dia diprotes mulu. smoga amalnya diterima di sisi-Nya amin
wass.